Karpet Kehidupan

Karpet Kehidupan

Ya Allah…

Dimanakah ku harus berlabuh…
Saat semua dermaga menutup pintu,
Dan berkata “ ini bukan untukmu…”
“Segara menjauh karna disini bukan tempatmu

Ya Allah…
Katakan padaku, dermaga untukku berlabuh
Agar ku segera menghela nafas kehidupan yang baru.
Sampai kapan ku harus arungi waktu,..
Ku lelah Menunggu suatu yang tak pasti walau hanya Satu

Ya Allah …
Beri aku penerang jalan-Mu
Agar tak tersesat saat ku melaju,..
Kuatkan awak kapalku,
Saat badai menghalangi jalanku

Ya Allah …
Tetaplah disisiku,
Jangan Engkau menjauh dariku…
Karna ku mati tanpa hadir-Mu

Kamis, 31 Oktober 2013

Sayup Sayup itu, Adalah Suara Kucing Yang Kudengar

Kukira aku mendengar suatu suara …
Mataku tak berkedip lima detik, mencoba memahami suara yang barusan kudengar, seketika itu bulu kudukku ikut berdiri. Kudengar beberapa kali. Tetap suara itu bertempo sama dengan irama yang sama. Suaranya terdengar lembut, penuh rayuan, dan sarat makna. Ya, begitulah yang  kudengar, suara itu seperti memanggil-manggil sesuatu. Tapi apa? memanggil siapa? Dan kenapa malam-malam seperti ini?
Malam itu semua orang sudah terlelap. Hanya aku yang kini membelalakkan mata dan telinga mendengarkan alunan suara itu. Jangkrik yang tiap malam menemaniku malam ini juga terdengar mengikuti nada-nada dari suara itu.
Aku mulai tertidur, tapi satu jam kemudian aku kembali terbangun seolah ada yang membangunkanku. Suara itu lagi, suara penuh tangisan itu kembali terdengar dan semakin syahdu …Wahai pemilik suara, apa yang terjadi denganmu? Adakah yang mengganggumu?
Kucing rumah milik tetangga. suara kucing itu, Sungguh menyita dan menyayat hati. Kenapa dia mengeong seperti itu ya? apa dia melihat sesuatu? Ahya, bukankah kucing bisa melihat makhluk halus? apa dia melihat hantu?  hiiii… kenapa aku malah mikir yang nggak-nggak?
“Meooong… eong… meoong….”
Kuhela napas, mencoba menghapus helai demi helai kegelisahan dengan membaca doa. Kucing tetangga itu biasanya duduk di samping jendela dapur sambil mengelus dua anaknya. Tapi jangan tanyakan bagaimana tingkahnya kalau melihat makanan. Beberapa minggu lalu, lauk yang baru aku beli hilang. Belum lagi saat Bundaku datang dari kampung beberapa waktu lalu memberikan bolu, ketika aku silap bolu itu lenyap. Di waktu lain sampah dapur yang biasanya aku letak di plastik karena belum punya tong sampah, pasti sudah berserakan di sepanjang dapur ukuran 3×3 meter itu.
Kalau anda sepintas melihat kucing itu pastilah akan memujinya. bulunya putih bersih, di kepala dan bahunya terdapat bulu yang berwarna hitam bercampur sedikit warna coklat keemasan. Anaknya juga demikian. Suara kucing itu juga bagus kalau mengeong. Tapi kalau sudah lihat tingkahnya pastilah anda memakinya. Seperti bu Marni, pemilik kucing itu yang begitu sebal melihat kucing itu tidur dengan nyenyaknya di sofa yang baru saja bersihkan lalu yang kemudian bau pesing.
Kadang juga aku geram dengan induk dan anak itu. Tapi aku sadar kalau kucing adalah hewan dan akan tetap menjadi hewan, dia tidak akan pernah mengerti apa yang kita ucapkan. Suatu hari, Dini, teman sekamarku mengurung kucing itu di kamar mandi dan memarahi dari balik pintu karena cumi-cumi yang dimasaknya ludes di santap pencuri ini, hampir 15 menit mengomel tidak henti, hingga suara meongan yang awalnya terdengar kini tak terdengar lagi, tak ada perlawanan dari dalam kamar mandi. Saat kamar mandi dibuka, mata Dini dan teman-teman lain melebar layaknya mulut mereka yang menganga, ternyata si kucing sudah lama tak di kamar mandi, dia sudah melarikan diri lewat jendela yang terbuka di dekat bak. Dini lemas lunglai karena ternyata dia tadi bicara sendiri.
***
Pagi hari tiba, matahari juga mulai melaksanakan kewajibannya menyinari bumi. Ku geser gorden agar cahaya matahari masuk ke kamarku. Lalu berlarianlah kini pikiranku menangkap keindahan pagi dari sang Pencipta, udara segar, sapaan bunga-bunga kecil yang berada tepat di samping kamarku dan tarian angin yang membuatku tersenyum.
Pagi itu pula aku mulai mencari sesuatu di perkarangan belakang layaknya detektif yang mencari bukti atas suatu kejadian. Celengak-celenguk. Semua penjuru mata angin sudah kulihat, tetap tak ada yang mencurigakan, eh, tapi apa itu?
Sebuah embar besar yang tak terpakai lagi berisi air hujan di sudut halaman. Bukan embernya yang menarik perhatianku, tapi isi di dalamnya. Ada anak kucing di ember itu. Dia tampak diam, tidak bergerak, kaku dan mengapung. Innalillahi wainnailaihi rajiun.
Kurasa suara yang kudengar semalam adalah suara induk dari kucing yang mati ini. Ternyata anaknya mati. Segera aku ambil sarung tangan dan mengangkat anak kucing itu dari ember, kugali lubang kecil untuk menguburkannya di sudut halaman. Induk itu datang mendekatiku dengan mengeluarkan suara seperti semalam. Kau pasti sedih ya kucing kehilangan satu anakmu… eh, tapi anak yang satu lagi mana?
“Meongg… eong…” Induk kucing itu terus mengeong dan menatapku. Tatapan yang berbeda dengan tatapan saat aku geram kalau mengambil lauk punyaku yang tiada arti dan tiada rasa bersalah. Tapi tatapan yang ini baru kali ini aku lihat dari seekor hewan. Apa kau ingin mengatakan sesuatu? Induk kucing lalu berjalan menjauh seolah ingin mengajakku ke suatu tempat menuju pagar halaman belakang. kuikuti dari belakang. Rerumputan yang tak beraturan, semak-semak yang lebat menyapaku. Jarang sekali aku ke sini. Hanya ada jalan setapak yang jarang dilalui pejalan, tak ada satupun rumah yang berdiri, hanya kebun dan hutan belantara.
Hampir 3 meter berjalan dari pagar ia mendekati sesuatu yang berada dekat parit dan mengeong seolah menyuruhku untuk melihat juga. Ada sejumlah lalat yang mengitari dan bau yang tak mengenakkan, kucipitkan mata, ternyata seekor anak kucing sudah tergeletak di dekat parit dengan kaki dan tangan yang penyet, sepertinya ia tertabrak motor di jalan setapak ini. Oh, ternyata begitu. Kau semalam bersuara aneh karena kau sedih melihat anak-anakmu sudah tiada. Kau memanggil mereka dengan suara yang membuatku merinding, ternyata suara kasih sayang seorang induk.
Segera kuambil anak kucing itu dan menguburkannya di samping saudaranya yang tadi kukubur, sebelum itu aku juga telah membersihkan lukanya, walau sebenarnya aku agak geli memegangnya karena sudah ada binatang yang bergerak-gerak di sebagian tubuh kucing malang itu, sepertinya dia telah mati sehari atau 2 hari yang lalu. Usai mengubur, ku tatap induk kucing, masih ada tatapan kesedihan di matanya. Ku lihat ia sekarang mulai mengelus tanah kuburan anaknya dengan pipinya.
Ya Allah. Kucing, kau memang tak punya akal, tapi kau punya naluri kasih sayang. Bagaimana dengan aku yang punya akal dan naluri, seharusnya aku bisa lebih baik dan bersyukur pada Tuhan. Aku jadi ingat orang tuaku, kasih sayangnya juga begitu besar padaku. Tak banyak yang diinginkannya dariku, hanya ingin aku sukses dan bahagia. Aku belajar darimu, induk kucing.

Rabu, 16 Oktober 2013

Balada Bangsaku



Berpuluh-puluh tahun  engkau bersajak dengan makna merdeka
Meyakini kedamaian dan kesejahteraan sejati itu
hidup membawa masyarakatmu

Bambu runcing adalah bukti kesetiaan para pahlawan
Membela dan mempertahankanmu dalam terik matahari hingga kelamnya malam
Sejarah merangkumnya dalam celah waktu

Namun dalam perjalananmu yang panjang
Engkau seakan menjadi gamang menatap dirimu
Masalah dan laksaan yang tak kunjung jelas
Masyarakatmu terus menghirup ammonia
Perjalan dalam abad yang seakan tampak goyah

Keterpurukan dalam roda pemerintahan
Dapat dengan mudah tersuap oleh sekeping emas dan berlian
Hingga anak-anak itu kelaparan demi sesuap nasi
Hingga para orang tua menggerbek rezeki dipelantara
Oh Bangsaku…
Beginikah kesedihan itu
Oh beginikah
Yang slalu menghantuimu
Akankah  terbesit hal yang mengantarkan perjalanan derita ini berakhir
Dalam sudut panjang Balada bangsaku.