Karpet Kehidupan

Karpet Kehidupan

Ya Allah…

Dimanakah ku harus berlabuh…
Saat semua dermaga menutup pintu,
Dan berkata “ ini bukan untukmu…”
“Segara menjauh karna disini bukan tempatmu

Ya Allah…
Katakan padaku, dermaga untukku berlabuh
Agar ku segera menghela nafas kehidupan yang baru.
Sampai kapan ku harus arungi waktu,..
Ku lelah Menunggu suatu yang tak pasti walau hanya Satu

Ya Allah …
Beri aku penerang jalan-Mu
Agar tak tersesat saat ku melaju,..
Kuatkan awak kapalku,
Saat badai menghalangi jalanku

Ya Allah …
Tetaplah disisiku,
Jangan Engkau menjauh dariku…
Karna ku mati tanpa hadir-Mu

Kamis, 21 Januari 2010

``Internalisasi Nilai Islami``

"Màkà disebàbkan ràhmàt dàri ALLAH-làh kamu bérlaku lémah lémbut térhàdap mérékà.
Sékirànyà kàmu bérsikàp kéras lagi bérhati kàsar, téntulàh mérékà ménjàuhkàn diri dari sékélilingmu.
Kàrénà itu mààfkanlah mérék, mohönkànlah àmpun bàgi méréka, dàn bérmusyàwarahlàh déngàn méréka dàlàm urusan itu.
Kémudiàn àpàbilà kàmu télàh mémbulàt tékàd,
màka tàwàkallàh képàdà ALLAH.
Sésungguhnyà ALLAH ményukài orang orang yàng bértawàkal képàdànyà."
(Q.S Ali 'Imran/3:159)

``Sàyàp Bérduri```

``Pérjàlàn hidup yàng
téràsà méngusik..
``Méncàcinyà dàlàm célàh kéténàngàn..
``Sànubàri pàlsu tlah menghitàmkàn sémangàtnya..
``Ménjadikànnyà lémàh méngàdapi citrààn luàs dunià..
``Mélàngkahi sebérang timur..
ménémpati Gérsàng pébukitàn pérsinggahàn létihnyà..
``Andài ia màsih sànggup ményéberangi jémbatàn itu..
pàstilah mulut tyda brdebàt ragà màmpu bersabàr..
``Jikàlau angin meniup kéncang udara hari..
teréhémpaslah tubuh ringànnyà bersàmà angin angin lain..
``Sungguh bétàpà siàlnya Sàyàpku Bérduri..

^^Apresiasi Sastra^^

Komunitas sastra ibarat sampan berlayar di lautan kaca, berisi makhluk-makhluk maya,
mengarungi luasnya samudera kata-kata, hingga ada yang menggumpal menjadi
puisi, cerpen atau pun esai, bagaikan pulau-pulau tempat sampan berlabuh.

Pernah terbentuk suatu komunitas sastra yang penuh gelora kebebasan, bebas berekspresi, berkarya sastra, mengeluarkan pendapat, dan berbeda nilai karsa akan sebuah karya sekali pun. Tapi apa lacur, kebebasan itu tak semulus yang dibayangkan, manakala perbedaan pendapat adalah bencana. Kebebasan menjadi obituari dan rasa jengah yang berujung keinginan hengkang pun tak terelakkan lagi.

"Perpisahan adalah sebuah permulaan baru", atas dasar inilah sebuah pertaruhan bagi pencinta kebebasan bersastra terebak kini. "Apresiasi-Sastra" adalah sebuah pilihan. Maukah kita memulai dan menjaga komunitas sastra ini?. Hanya andalah yang mampu menjawabnya.

Mungkin kata-kata bijak di bawah ini perlu dijadikan sebagai atapnya komunitas sastra baru kita:
"Wadah yang eksklusif tak akan bertahan lama" (Mahatma Gandhi)

Salam,
*Apresiasi-Sastra*

^^Cut Nyak Dien^^

Cut Nyak Dien (1848-1908) Perempuan Aceh Berhati Baja

Diterbitkan Maret 30, 2009 Biografi Tokoh , Kumpulan Artikel Sejarah 1 Comment
Tags: Biografi, islam nusantara, sejarah, Sejarah Islam Indonesia, sejarah nusantara


Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.

Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Sejarah Aceh

Sejarah awal

Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.

Seri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Puteri dari Kesultanan Pahang. Puteri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan Isterinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai muzeum cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampong halamannya yang berbukit-bukit. Oleh kerananya Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Pada abad ke-16, Ratu Inggeris yang paling berjaya Elizabeth I sang Perawan, mengirim utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan pula mengirim surat bertujuan "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggeris dan mengizinkan Inggeris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang amat berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis diatas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Hubungan yang misra antara Aceh dan Inggeris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggeris dan Scotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Selain Kerajaan Inggeris, Pangeran Maurits -pendiri dinasti Oranje- juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Beliau dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri ileh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama nasrani di pekarangan sebuah Gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang dirasmikan oleh Mendinag Yang Mulia Pangeran Bernard suami menidiang Ratu Juliana dan Ayahanda Yang Maha Mulia Ratu Beatrix.

Pada masa Iskandar muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap sultan Empayar Turki Uthmaniyyah yang berkedudukan di Konstantinompel. Kerana saat itu, sultan Turki Uthmaniyyah sedang gering maka utusan kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersbut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya sultan Turki Uthmaniyyah mengirimkan sebuha bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Kerajaan Aceh pula menerima kunjungan utusan Diraja Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang amat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan seripah cermin tersbut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya Danis Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskanda Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan melayu yang memiliki Bale Ceureumin atau Hall of Mirror di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari 2 kilometer. Istana tersbut bernama Istana Dalam Darud Dunya. Didalamnya meliputi Medan Khayali dan medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya. Disanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

Kerajaan Aceh sepeninggal Sultan Iskandar Thani mengalami kemunduran yang terus menerus. Hal ini disebabkan kerana naiknya 4 Sultanah berturut-turut sehingga membangkitkan amarah kaum Ulama Wujudiyah. Padahal, Seri Ratu Safiatudin Seri Ta'jul Alam Syah Berdaulat Zilullahil Filalam yang merupakan Sultanah yang pertama adalah seorang wanita yang amat cakap. Beliau merupakan puteri Sultan Iskandar Muda dan Isteri Sultan Iskandar Thani. Beliau pula menguasai 6 bahasa, Spanyol, Belanda, Aceh, Melayu, Arab, dan Parsi. Saat itu di dalam Parlemen Aceh yang beranggotakan 96an orang, 1/4 diantaranya adalah wanita. Perlawanan kaum ulama Wujudiyah berlanjut hingga datang fatwa dari Mufti Besar Mekkah yang menyatakan keberatannya akan seorang Wanita yang menjadi Sultanah. Akhirnya berakhirlah masa kejayaan wanita di Aceh.

Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan aceh sempat meminta bantuan kepada perwakilan Amerika Serikta di Singapura yang disinggahi Panglima Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon III di Perancis. Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman untuk meminta bantuan kepada Empayar Turki Uthmaniyyah. Namun Empayar Turki Uthmaniyyah kala itu sudah mengalami masa kemunduran. Sedangkan Amerika menolak campur tangan dalam urusan Aceh dan Belanda.

Setelah satu tahun perang, Sultan Aceh Mahmmud Syah mangkat karena wabah Kolera. Kerabat Sultan, Sultan Muhhamad Dawud Syah ditabalkan sebagai Sultan di Masjid Indra Puri. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada belanda pada tahun 1903 setelah dua Isterinya, anak serta Ibondanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Istana Kesultanan Aceh kemudian di luluhlantakkan dan diganti dengan bagunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernor.
[sunting] Dalam Indonesia

Apabila Republik Indonesia (RI) dibentuk pada 1945, Aceh turut dimasukkan sebagai salah satu provinsinya.

Pada 1975, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diwujudkan bagi menuntut kemerdekaan Aceh. Ini membawa kepada pertempuran puluhan tahun lamanya di antara sebahagian penduduk Aceh dan tentera pemerintah Indonesia. Selain itu, muncul juga tuntutan pungutan suara sebagai mekanisme rasa kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah di Jakarta. Tuntutan itu disuarakan oleh para cendekiawan muda Aceh yang menyertai pertubuhan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA). SIRA yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999 berusaha merealisasikan keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri. Bersama GAM, SIRA berjaya menyunting semangat perjuangan rakyat Aceh untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa.

Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib mereka sendiri semakin rancak dengan penubuhan berbagai-bagai pertubuhan di Aceh, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM dengan mengemukakan pelbagai jenis isu. HANTAM misalnya, dengan mengemukakan isu anti-tentera berjaya membuahkan hasil pada tahun 2002 kerana dalam menuntut gencatan senjata antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM juga bertindak memperkenalkan empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Rusuhan turut berlaku.

Akhirnya pada 19 Mei 2003, kerajaan Indonesia mengisytiharkan darurat di Aceh melancarkan operasi ketenteraan selepas GAM menolak autonomi khas yang diberikan pemerintah. Hasilnya kumpulan pemberontak itu berjaya dipatahkan. Namun keadaan darurat masih lagi berlangsung apabila provinsi itu dilanda gempa bumi 26 Disember 2004.

Bencana itu membawa kedua pihak kembali ke meja rundingan. Pada 17 Julai 2005, setelah perundingan selama 25 hari, pasukan perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantaa, Helsinki, Finland. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Ogos 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh sebuah pasukan yang bernama "Misi Pemantau Aceh" yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara yang tergabung dalam Kesatuan Eropah. Di antara isi pentingnya adalah bahawa pemerintah Indonesia akan turut membantu pembentukan parti politik tempatan di Aceh dan pemberian pengampunan bagi anggota GAM. Kuasa autonomi khusus turut diberikan seperti yang ditawarkan pada 2002.

Aceh Dan Kesadaran Sejarah

ACEH DAN KESADARAN SEJARAH

Oleh:Hafas Furqani*)



Fa’tabiru ya ulil abshar! Lakukanlah i’tibar wahai orang-orang yang berpandangan! Demikian perintah Allah swt dalam sur0al-Hasyr; 2. Al-Qur’an selalu menyebut contoh-contoh dari sejarah dan mendesak kepada si pembaca supaya menjadikannya pelajaran agar lebih bijaksana menghadapi masa depan. Karena, peristiwa yang dihadapi hari ini dan akan dilalui kelak adalah kelanjutan peristiwa-peristiwa lampau.



Kisah para Nabi dan umatnya dalam al-Qur’an mendorong Zia ul-Haq, seorang ilmuan Pakistan, menulis buku “Wahyu dan Revolusi dalam Islam”. Ia menyimpulkan ada kaitan antara kisah-kisah umat terdahulu yang diceritakan al-Qur’an dengan keberhasilan revolusi yang digerakkan oleh Nabi Muhammad saw. Kesadaran akan kebenaran peristiwa tersebut, hikmah, gambaran perjuangan, derita, kepayahan dan kesabaran para Nabi menjadi contoh paripurna bagi keberhasilan perjuangan Muhammad saw dan sahabatnya.



Menggugah kesadaran sejarah hanya bisa dicapai lewat perenungan-perenungan (i’tibar, reflection, contemplation). Perenungan yang sempurna disamping dengan menghayati pengalaman masa lampau juga dengan menyusun langkah gerak strategis ke depan. Semakin dalam perenungan yang dilakukan, akan muncul kesadaran, dan dan pada gilirannya akan melahirkan kebijaksanaan terhadap masa depan.



Perenungan sejarah (historical reflection) perlu dilakukan untuk melahirkan kesadaran sejarah (historical consciousness) yang akan memberikan "pengertian" terhadap berbagai peristiwa, langkah dan kebijakan yang ditempuh pada masa lalu terhadap suatu bentuk ideal (idealtype) masa depan, juga untuk terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat menuju sebuah kehidupan yang lebih baik dari yang sudah didapati. Hipotesa utama mengapa kita perlu melakukan perenungan sejarah adalah bahwa semua peristiwa itu tidak terjadi dengan sendirinya (autonomous phenomena), selalu ada kaitan dan hubungan antar berbagai peristiwa masa lalu dan sekarang (linked phenomena). Kaitan-kaitan inilah nantinya yang akan menjadi bahan koreksi kita.



Muhammad Iqbal (1951), memandang sejarah sebagai satu gerak kolektif yang berkelanjutan, ia adalah perkembangan yang tidak dapat dielakkan dalam waktu. Sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah satu gerak berkelanjutan dalam waktu (process) yang merupakan kreatifitas asli manusia dan bukan sesuatu yang perjalannya telah lebih dahulu ditentukan. Karena sifatnya yang sangat dinamis maka dialektika sejarah suatu bangsa seringkali berlainan walaupun nantinya tetap ada titik singgung persamaan dalam hal kausalita sebab akibat.


Aceh dan sejarah



Aceh dan sejarah adalah sebuah diskursus unik. Berbagai tanggapan sinis seringkali terdengar ketika Aceh berbicara sejarahnya. Aceh hanya berbangga dan terbuai dengan romantisme sejarah, Aceh telah "mati" terbunuh dengan sejarahnya sendiri sehingga tidak bangkit lagi, atau sejarah Aceh tidak lain adalah pengulangan kisah-kisah yang membosankan tentang peperangan dan heroisme pejuang.



Terlepas dari berbagai pandangan ini, Aceh terus mencipta sejarah dan terus berbicara akan sejarahnya. Karena itu, yang harus kita lakukan sebenarnya adalah berhenti sekedar berbangga terhadap kegemilangan sejarah, berhenti mengeluh dan meratapi penderitaan, dan sebagai gantinya kita harus membahas kegemilangan dan penderitaan itu kemudian menganalisanya demi sebuah “kesadaran”.



Sejarah Aceh adalah Islam, dan Islam mewarnai sejarah Aceh. Sudah menjadi kesepakatan umum, daerah yang pertama sekali masuk Islam di Nusantara adalah Aceh, di sinilah kerajaan Islam yang pertama lahir, yang menandakan dimulainya peradaban Islam. Identitas Islam terus mewarnai perjalanan peradaban ini. Hal yang unik dari ke-Islaman Aceh ialah, ia tidak hanya sebagai agama yang dipakai dalam keseharian dan kebudayaan, tetapi juga menjadi ideologi yang telah menyatu dengan Aceh. Islam menjadi dasar negara untuk sebuah pemerintahan baru yang kemudian dibentuk dan menjadi pedoman hukum tertinggi negara tersebut.



Perkataan H.A.R Gibb yang terkenal; “Islam sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, ia adalah satu peradaban yang lengkap” menjadi terbukti di Aceh. Rakyat Aceh pada masa itu, dengan kecerdasan yang tinggi, ketaatan kepada Tuhan, dan dinamika sosial-budaya yang beragam, berhasil memanifestasikan Islam dalam sebuah peradaban madani. Semua tingkah laku negara dan rakyat berdasarkan Islam. Ini terangkum dalam sebuah adagium: adat bak po teumeuruhom, hukom bak syiah kuala, kanun bak putroe phang, reusam bak laksamana. Dari sini pula, Islam kemudian bekembang dan menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk nusantara. Islam di Aceh telah menjadi sebuah peradaban yang mewarnai perjalanan hidupnya di hari-hari selanjutnya. Aceh memiliki corak ke-Islaman yang khas. Proses penyatuan Islam dengan adat setempat berlangsung sangat sempurna. Sehingga sering dikatakan adat aceh adalah Islam dan Islam telah menjadi adat rakyat Aceh (adat ngon syariat lagee zat ngon sifeut). Semangat egaliter dan peradaban yang terbuka turut pula menjadikan daerah ini memiliki peradaban yang tinggi (kosmopolit) dan lebih cepat maju seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Hal ini didukung pula oleh letaknya yang sangat strategis, menjadi lalu lintas nusantara dan kebudayaan di Asia dan Eropa (India, Arab, Turki, Cina, dan Eropa).



Peradaban yang dibangun disamping beridentitaskan Islam (Islamic identity), juga memiliki identitas tersendiri yang khas yaitu identitas ke-Acehan (Acehnese identity). Identitas ini bersumber dari ajaran Islam yang dimanifestasikan dalam adat kebudayaan dan juga dari peleburan berbagai kebudayaan dan peradaban luar yang singgah di aceh yang telah menyatu dalam masyarakat. Peradaban yang kosmopolit ini menjadikan Aceh lebih maju dibanding kerajaan lain di Nusantara. Di sinilah lahir ilmuan-ilmuan terkemuka, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniry, Abdur Rauf As-sinkili dll.



Dalam fase selanjutnya Aceh mulai melemah, penyebabnya adalah peperangan yang sangat panjang dan melelahkan. Perang menjadi ciri lain sejarah Aceh. Aceh tidak pernah berhenti berperang, yang terjadi adalah pasang surut perdamaian. Sesekali damai, tapi jelas perang tak pernah reda. Konsekuensinya adalah Aceh mulai kehilangan identitas. Perang sangat anti kemapanan, ia merusak seluruh sendi kehidupan yang telah disusun beabad-abad.



Hari ini adalah masa-masa kemunduran Aceh. Masa dimana kita terpuruk di bidang politik (depolitisasi), ekonomi (eksploitasi), budaya (pelumpuhan budaya), dan juga agama (sekularisme). Aceh telah kehilangan semua identitasnya dalam bidang-bidang tersebut. Hari ini adalah juga masa dimana Aceh berhadapan dengan konflik yang sangat panjang, yang menyebabkan hilangnya ribuan nyawa manusia dan banyak harta benda. Dalam masa-masa ini juga potensi sumber daya manusia Aceh terus berkurang, Aceh kehilangan pemimpin-pemimpin cerdas, Aceh juga kehilangan ilmuan-ilmuan. Kemunduran ini juga ternyata turut menghilangkan adat dan identitas yang selama ini sangat melekat yaitu Islam.

Kejatuhan kegemilangan Aceh ini ditandai pula dengan hilangnya identitas ke-Islaman dan ke-Acehan yang diganti dengan identitas Sekuler dan Ke-Indonesian. Secara perlahan keduanya menghilangkan peradaban yang sudah mapan dibangun. Identitas negara baru, yang merupakan perpaduan berbagai daerah dan bangsa yang terletak di sepanjang gugusan nusantara, ternyata mempunyai corak keislaman dan peradaban yang berbeda. Sehingga tolak tarik dan persinggungan terlihat sepanjang perjalanan sejarah. Walaupun Aceh diakui telah memberikan sumbangan yang signifikan terhadap tegaknya negara ini, namun ternyata sepanjang perjalanannya kedua identitas ini sangat tidak harmonis. Berbagai ketidakpuasan telah melahirkan konflik yang sangat panjang sepanjang sejarah nusantara. Aceh melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Konflik yang berlangsung sampai sekarang juga nantinya mempunyai cerita sejarah tersendiri dalam perjalanan Aceh.

Menggagas perubahan

Benar bahwa sejarah Aceh telah berputar, dari kegemilangan kepada kemunduran. Kita tidak perlu bersedih dan mengutuk diri, karena ternyata kita berada dalam masa kemunduran, yang sangat diperlukan sekarang adalah kesadaran akan sejarah kita untuk menumbuhkan semangat membangun kembali kegemilangan.



Herakleitos, seoarang filosof Yunani, berkata dengan tegas, Panta rei – semua berlalu! Konflik yang panjang dan telah lama ini pasti akan berlalu. Dan ternyata benar, kita berada di babak lain dari sejarah Aceh. Aceh saat ini mencoba berdamai dan menandatangai nota kesepahaman (MoU GAM-RI). Aceh sedang menulis sejarahnya dengan mencoba menyusun gaya pemerintahan dan gaya demokrasinya sendiri yang berbeda dengan daerah lain.



Perubahan pasti terjadi, karena esensi hidup di dunia adalah ‘gerak’, tidak ada yang tetap, yang tetap adalah perubahan. Mungkin saja apa yang berlaku hari ini adalah tonggak (milestone) untuk kembali melakukan perubahan menuju kegemilangan. Masih ada harapan yang besar dan tantangan masa kini untuk menata perubahan dan membangun kembali peradaban di bumi Serambi Mekkah. Apa yang berlaku saat ini tentu tidak terjadi dengan sendirinya, ia adalah perjuangan mewujudkan sebuah cita-cita ideal.



Tentu ini hanya sekelumit dari pada sejarah Aceh, yang masih merupakan bagian dari ingatan kolektif bangsa Aceh. Kondisi yang tidak menyenangkan yang sekarang kita hadapi adalah juga berasal dari runtutan masa lalu yang telah kita gariskan. Segala kemungkinan untuk masa depan masih mungkin berlaku. Tugas kita adalah menyusun langkah-langkah strategis ke depan untuk memulai perubahan, mewujudkan kembali Aceh yang adil makmur, bermartabat, terhormat, menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kemanusian yang universal. Inilah saatnya untuk beranjak kembali menuju kegemilangan seperti yang pernah kita capai. Semua berputar dan bisa berubah (taghyir). Bisa saja setelah fase tua yang digambarkan Ibnu Khaldun ketika menceritakan sejarah sebuah peradaban, tidak menuju ke fase kematian, tetapi berputar lagi menuju remaja, karena perputaran sejarah tidak selalu persis dengan peredaran perjalanan hidup manusia, ia sangat dinamis.



Namun jelas, perubahan itu tidak terjadi dengan sendiri, juga kita tidak tahu apakah perubahan itu bisa cepat atau lambat terjadi, ia perlu kepada syarat-syarat penunjang yang harus dipenuhi untuk mempersiapkan dan mempercepat perubahan tersebut.



Inilah signifikansi lain dalam perenungan sejarah. Ia adalah seni pembakar khayal, pendobrak nurani, juga inspirasi yang tidak habis-habis. Ketika kita putus asa, ia lah yang akan membangkitkan kembali semangat kita. Atau ketika kita bingung terhadap rancangan masa depan yang ideal, ia lah yang menjadi cerminan kita. Bangsa yang bisa melakukan ini adalah bangsa yang mempunyai pengalaman yang lebih luas, kematangan yang lebih besar dari akal praktis, dan akhirnya satu pelaksanaan yang lebih lengkap dari cita-cita asasi tertentu mengenai kehidupan.



Pada akhirnya, “kesadaran” sejarah hendaklah menjadi landasan “pencerahan” untuk bisa menggagas “perubahan”. Walaupun tidak sedikit orang yang remeh dan sinis terhadap sejarah Aceh, namun kita tetap berkeyakinan bahwa itu adalah sumber pusaka terbesar yang diwariskan indatu kita, dan masih sangat relevan untuk membentuk karakter bangsa (nation building) Aceh modern di masa depan. Ia juga bisa mengajarkan kita menjadi bijaksana ketika kita “hampa” tidak punya pihan ataupun ketika kita “bingung” terhadap berbagai alternatif pilihan (politik) yang ada. History is philosophy from examples, demikian kata Dionysius of Halicarnassus, seorang historian yunani dalam Ars Rethorica.



*) Penulis adalah mahasiswa program Master of Economics pada International
Islamic University Malaysia (IIUM)